Bisnis, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menuding adanya bisnis politik terkait dengan kebijakan pemerintah untuk membuka kran impor garam sebesar 75 ribu ton melalui PT Garam.
“Kebijakan Impor jangan selalu dijadikan solusi instan dan satu satunya solusi kebijakan pangan,” kata Peneliti Indef Nailul Huda melalui siaran pers pada Senin, 31 Juli 2017.
Pemerintah memutuskan impor karena di pasar terjadi kelangkaaan garam. Bagi Nailul, pemerintah harusnya mengambil pelajaran dari kasus ini. Agar membuat kebijakan dengan cara melihat kondisi di lapangan saat ini, maupun kondisi yang akan datang dengan tepat ke akar permasalahan.
Padahal, menurut dia, kelangkaan garam harusnya sudah bisa diprediksi jauh hari sebelum hal itu terjadi. Karena garam untuk industri memang belum bisa dipenuhi oleh petani garam lokal. Dia menolak pemerintah mengambil kebijakan instan tanpa menyelesaikan permasalahan.
"Jadi pemerintah sudah bisa memprediksi adanya kelangkaan ini dan sudah menyiapkan stok garam industri dan juga pemerintah harus membangun infrastruktur produksi dan pemberdayaan petani.”
Wakil Sekjen Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Niko Amrullah juga menolak kebijakan impor garam. Menurut dia, kebijakan itu rawan penyelewengan dan ditunggangi kepentingan dagang politik. "Ingat kisah lalu, bahwa Dirut PT.Garam Achmad Boediono menjadi tersangka atas kasus penyelewengan impor garam,” ucap dia. “Bukan menambah kesejahteraan petambak garam rakyat, namun justru semakin meminggirkan mereka terhadap mekanisme pasar.”
Niko menambahkan bahwa semestinya gejolak harga garam ini bisa disiasati dengan solusi inovasi teknologi dan pendampingan intensif kepada para petambak garam rakyat. Bukan dengan mengkambinghitamkan anomali cuaca.
Deputi Sekjen FITRA, Apung Widadi meminta agar PT Garam segera diaudit pascakasus korupsi dirut PT. Garam yang kini segera disidang. Pemerintah harus melihat kemampuan perusahaan plat merah itu dalam impor 75.000 ton garam. “Dengan analisis ekonomi, kebutuhan pangan dan nasib nelayan, maka semestinya impor tidak perlu dilakukan. Dan PT Garam pun belum sanggup," ucap dia.
Menurut dia, jika dipaksakan tanpa kajian dan analisis semua stakeholder, impor garam 75.000 ini dikhawatirkan akan menjadi bancakan rente politik bisnis pangan. Justru hanya menguntungkan kelompok rente. Kemudian masyarakat dan petani garam yang dirugikan. "Visi jangka panjang, anggaran untuk petani garam yang sudah dianggarkan di APBN harus jelas dan dikawal untuk peningkatan produksi garam petani dengan prioritas pembangunan infrastruktur produksi."
AVIT HIDAYAT